Langsung ke konten utama

Main Gamelan di SD

Waktu SD di kota Batang tahun 1980-an saya berkesempatan belajar gamelan yang diajarkan oleh guru kesenian kami, Pak Diono, yang berasal dari Klaten. Saya belajar gamelan sejak kelas IV sampai kelas V. 

Menurut saya, Pak Diono sangat ahli di gamelan, karena beliau bisa mengajarkan banyak lagu, dari lagu yang dinamis yang disebut "lancaran" sampai lagu pelan jenis "ketawang" yang memainkan tembang-tembang syahdu seperti Kinanthi atau Dandanggula. Kebetulan alat gamelan di SD saya cukup lengkap dan bisa memainkan tangga nada pentatonis jenis Slendro maupun Pelog, meskipun bahan logamnya hanya dari besi, bukan perunggu yang merupakan standar gamelan bagus.

Pertama saya pegang instrumen yang kurang penting yaitu "kethuk" (mendampingi "kenong") karena masih junior, cuma satu nada monoton tapi ketukannya harus selalu pas. Karena gampang sekali, saya berkesempatan banyak memperhatikan cara bermain alat musik gamelan lain yang lebih susah yang dimainkan para kakak kelas saya. (Hingga saat ini masih ingat cara memainkan alat-alat musik tersebut, meski versi sederhana) 

Dalam perkembangannya, ketika naik kelas, akhirnya saya memainkan alat musik kendang yang merupakan elemen penting yang memimpin keseluruhan orkestra instrumen gamelan dan bahkan memimpin tim ikut lomba.

Tim kami berkesempatan mengikuti pertandingan gamelan antar SD tingkat kecamatan. Meski tingkatnya lokal, sensasinya waktu itu seru juga. Dalam memainkan gamelan kami semua menggunakan pakaian jawa.

Sayang sekali karena belum ada HP, tidak ada dokumentasi apa pun dari kegiatan kami. Mungkin di sekolah masih ada foto-fotonya.

Beberapa lagu yang kami mainkan antara lain "Kebo Giro", "Menthog", dan juga "Lesung Jumengglung" karya Ki Narto Sabdo seperti contoh video di bawah ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kethoprak Mbambung dan wayang Mbeling a la Goen

Waktu saya SMP, di sekolah ada satu majalah bulanan yang sepertinya setengah diwajibkan bagi setiap murid untuk berlangganan, namanya majalah "MOP", milik grup Suara Merdeka, Semarang. Generasi yang dulu SMP atau SMA-nya di Jawa Tengah pada era 1980-an kemungkinan besar kenal majalah ini. Saya tidak terlalu tertarik dengan artikel-artikelnya tapi ada salah satu rubrik yang membuat saya rajin membaca majalah itu yaitu komik "Kethoprak Mbambung" yang digambar oleh kartunis bernama "Goen".  Entah kenapa karakter-karakter yang dia gambar dan caranya menyampaikan cerita sangat mengesankan bagi saya....menggelitik dan sangat menghibur. Bahkan komik ini memberi saya inspirasi untuk mulai belajar menggambar dan berharap suatu saat bisa jadi kartunis sekaliber dia (saya gagal, by the way ). Goen juga dikenal sebagai ilustrator rubrik "Wayang Mbeling" dan "Panakawan" di koran mingguan "Minggu Ini" (kemudian berubah menjadi tabloid Cempa

Kenangan: Museum Tintin (Musée Hergé)

Kenangan: tepat 10 tahun lalu saya kesampaian mengunjungi Museum Tintin di Belgia. Ketika beli tiket masuk, petugas bertanya dalam bahasa Prancis, "Anda dari negara mana?" Ketika saya jawab "Indonesia", dia merespon "Oh iya, cukup banyak penggemar Tintin di sana". Komik Tintin yang pertama kali kubaca adalah "Ekspedisi ke Bulan" (On a marché sur la Lune) , mungkin sekitar tahun 1984, punya tetangga depan rumah yang cover dan beberapa halamannya sudah hilang, sehingga membuat penasaran dan keterusan hunting.  Komik ini telah menginspirasi saya untuk mencari cara agar bisa menjelajah dunia sampai akhirnya kesampaian ke lebih dari 30 negara.

Eternity lies in the written world

Eternity lies in the written world. Your minds will surely die one day. Your neurons and organs for expressing ideas will stop working and will rapidly decompose. If until we die there is no technology that allow us to back them up, everything in our minds will be gone forever. There could be an afterlife as proposed by many religions, but we cannot be 100% sure that there will be such a life since no one ever returned from their death. Even if so, how can we be sure that the individual entity raised would be the same personality as us? When you are dead there could probably be only oblivion, your consciousness and memories will be gone. You, perhaps, cannot even regret that you have not shared important testimonies or experience to other people or those of future generations. You only exist in other people’s memories. In short, you need to write what you need to share to make yourself immortal. Start from now before you regret! You will be forgotten one day if you do not leave any not